Filsafat Al-Farabi

LATAR BELAKANG

Setiap manusia memiliki jalan pikirannya masing-masing, karena itulah anugrah tuhan yang maha esa kepada umat manuisa. Dari pemikiran-pemikiran itulah manusia membuat suatu pandangan hidup yang disebut dengan filsafat. Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan, dan pemikiran manusia secara kritis, dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen, dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi, dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Di sini saya akan menjelaskan filsafat seorang Al-Farabi.


ISI

1. Biografi Al-Farabi

Nama : Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (Al-Farabi)
Tahun Lahir : 870M
Wafat : 950M (80 Tahun)
Pekerjaan : Filsuf, Ilmuwan
Aliran Filsafat : Scholasticism Islam (Abad Pertengahan)
Tema Filsafat : Logika, Ilmu Matematika, Fisika, Ilmu Alam, Teologi, Musik,
                          Ilmu Politik dan Kenegaraan

Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.

Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.

Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.

Latar belakang keluarga atau kehidupan awal al-Farabi sangat sedikit yang diketahui dengan pasti. Meski mempunyai beberapa murid dekat, dia tidak pernah mendiktekan otobiografinya kepada salah seorang dari mereka, dan ia pun tidak menulis otobiografinya sendiri. Sehingga bahan-bahan yang dipakai sebagai rujukan oleh para biografer al-Farabi selama ini, keabsahan, kebenaran dan keautentikan datanya masih bersifat sementara dan masih membuka peluang bagi para penulis berikutnya untuk melakukan revisi-revisi sesuai akurasi data yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Salah satu bentuk in-akurasi data tersebut terlihat dari beberapa tulisan tentang tahun kelahiran al-Farabi. DR. Ahmad Daudy, dalam Kuliah Filsafat Islam menyebut kelahiran al-Farabi adalah tahun 259 H/872 M, sedangkan Harun Nasution menunjuk angka 870 M dan Osman Bakar menulis tahun 257/890M.

Perbedaan lain seputar tokoh yang memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan ibn Auzalagh al-Farabi ini adalah soal asal-usul kebangsaan/keturunannya. Ada yang menyebutnya berkebangsaan Persia dan ada pula yang menyatakan keturunan bangsa Turki. Hal ini disebabkan karena ayahnya (Muhammad ibn Tharkhan) adalah seorang Jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya adalah wanita keturunan Turki.

Meskipun dalam sumber-sumber tertentu ayahnya disebutkan keturunan bangsawan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap sebagai orang Turki. Bukan hanya karena mereka berbicara dalam bahasa Sogdia atau sebuah dialek Turki, tetapi karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang Turki.

Sebutan al-Farabi sebenarnya diambil dari nama kota Farab sebuah distrik (setingkat Kabupaten/kota) provinsi Transoxiana, Turkestan, yakni distrik tempat kelahiran beliau, tepatnya di desa kecil bernamaWasij. Menurut catatan Ibn Khallikan, di wilayah ini pula Abu Nasher menghabiskan masa remajanya.

Lingkungan distrik Farab yang mayoritas penduduknya berfaham fiqh Syafi’iyah ditambah kondisi ekonomi keluarga yang memadai, memungkin Abu Nashr muda menerima pendidikan yang layak. Dia digambarkan sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subjek yang dipelajari, terutama dalam bidang bahasa. Konon ia dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, dengan empat bahasa yang paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki dan Kurdi.

Selain di kampung halamannya, al-Farabi pernah berdomisili di Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu religius lainnya. Kota Bukhara yang saat itu berada dalam pemerintahan Nashr ibn Ahmad (260-279 H/874-892 M) dikenal sebagai masa awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di sini lah al-Farabi mempelajari musik untuk pertama kalinya. Dan di kota ini pula ia pernah menjadi hakim (qadhi).

Hanya beberapa saat menjadi hakim, al-farabi mendengar adanya seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis. Segera ia melepaskan jabatan itu dan mulai tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu logika dan filsafat Aristotelian kepada Yuhanna ibn Hailan di kota Merv (Marw) Khurasan.

Saat berusia 40 tahun, al-Farabi hijrah ke Baghdad yang kala itu merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Di sana ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu bakar al-Saraj juga belajar ilmu logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibn Yunus. Menurut Osman Bakar, Al-Farabi berangkat ke Baghad itu adalah sekitar tahun 287 H/ 900 M dari kota Merv bersama gurunya ibn Hailan. Jadi, selain berguru kepada yang lain, selama di Baghdad al-Farabi tetap belajar pada Ibn Hailan. Bahkan pada fase selanjutnya al-Farabi pun ikut pindah ke Harran mengikuti sang guru. Besar kemungkinan Ibn Hailan lah yang mempengaruhi al-Farabi untuk melanjutkan studinya ke Konstatinopel yang erat pertautannya dengan mazhab filsafat Alexandria. Al-Farabi menetap di Konstatinopel selama delapan tahun hingga menyelesaikan studi ilmu-ilmu dan seluruh silabus filosofis.

Barulah pada rentang waktu antara 297-307 H / 910-920 M al-Farabi kembali ke Baghad dan tercatat sebagai siswa Matta ibn Yunus, salah seorang filosof Nestorian. Di bawah bimbingan Matta inilah, al-farabi mampu menguraikan gagasan-gagasan abstrak menjadi mudah difahami dan mengungkapnya dengan istilah yang sederhana. Bahkan kemudian, ajaran dan tulisan-tulisan al-Farabi pada masa ini dengan cepat memantapkan reputasinya sebagai filosoft muslim terkemuka, melebihi gurunya—Matta ibn Yunus—dalam bidang logika.

Pada tahun 330 H / 941 M, Al-Farabi pindah ke Damsyik (Damaskus-Suria) dan berkenalan dengan Said al-Daulah al-Hamdani, Sulthan dinasti Hamdan di Halab (Aleppo). Sulthan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan beliau, hingga mengajaknya pindah ke Aleppo. Di Aleppo sulthan memberikan kedudukan yang baik kepada al-Farabhi sebagai penasehat istana sampai ia wafat di sana sekitar tahun 337 H/950 M dalam usia 80 tahun.

2. Karya-karya Al-Farabi
Karya-karya al-Farabi tersebar di setiap cabang ilmu pengetahuan yang dikenal dunia pada abad pertengahan. Para bibliografer tradisional menisbahkan lebih dari seratus karya kepada al-Farabi. Namun karya-karya yang lebih banyak berbentuk naskah tersebut sebagiannya hanya ditemukan dalam terjermahan tulisan Ibrani atau Latin dan baru sedikit yang disunting dan diterbitkan. Sehingga sulit untuk memberikan catatan komprehensif tentang berbagai segi dari karya dan pemikiran al-Farabi. Di antara karya-karya Al-Farabi itu adalah :

1. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles),
2. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
3. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
4. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),
5. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
6. As Syiasyah (ilmu politik),
7. Fi Ma’ani Al Aqli (makna Berfikir),
8. Ihsha’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
9. Isbatu Al Mufaraqat (Ketetapan Berpisah),
10. Al Ta’liqat. (Ketergantungan)

Buku al-Farabi yang bejudul “Ihsaul Ulum” merupakan teori keilmuan dan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu Bahasa, Mantiq, matematika, fisika, politik, hukum dan ketuhanan yang sebenarnya telah pernah dibahas oleh para penulsi lain. Namun yang membuat buku itu istimewa adalah karena al-farabi mengkaitkan semua cabang ilmu tersebut dengan teori-teroi keislaman yang ia rangkum dalam dua cabang ilmu baru, yakni Fiqh (hukum Islam) dan ilmu Kalam yang sangat populer dibicarakan pada masa itu. Terkait ketajaman karya al-Farabi, diceritakan bahwa Ibnu Sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles. Setelah membacanya empat kali ia belum juga mampu mencerna isinya sampai ia membaca buku “Intisari Metafisika” karya al-Farabi, barulah ia mengerti bagian yang semula dirasa sulit.

Selain dalam bentuk buku, risalah dan manuskrip tersendiri, al-Farabi juga sering membuat ulasan dan penjelasan terhadap karya-karya filosoftYunani, seperti Al-Burhan (dalil), Ibarah (keterangan), Khitobah (cara berpidato), Al-Jadal (argumentasi/debat), Qiyas (analogi) dan Mantiq (logika) yang merupakan ulasan terhadap karya-karya Aristoteles. Juga ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq” yang merupakan ulasan terhadap karya Platinus dan ”Maqalah Fin-nafsi” sebagai ulasan terhadap karya Iskandar Al Daudisiy.

3.Filsafat Al-Farabi (Pemikiran Al-Farabi)
Secara garis besar pemikiran Al-Farabi dapat dibagi dalam beberapa tema, yaitu: logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik dan beberapa tulisan yang berisi sanggahan terhadap pandangan filsuf tertentu. Namun disini saya hanya akan membahas pemikiran Al-Faribi tentang politik (sistem pemerintahan) yang dibahas khusus dalam bukunya yang berjudul Madinah al-Fadhilah.

Pemikiran tentang Asal-usul Negara dan Warga Negara
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, Al-Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga spritual, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat nanti. Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.

Menurut Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata, menurut Al-Farabi, adalah Negara Utama.

Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnya, prinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar.

Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.

Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna. Ada tiga klasifikasi utama:
  • Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya. 
  • Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi. 
  • Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.

Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:
1. Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
2. Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3. Negara Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
4. Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
5. Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah): negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.

Pemikirannya Tentang Pemimpin
Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas). Selanjutnya Al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi, namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.

KESIMPULAN

Al-Farabi ialah filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam. Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak terpengaruh pemikiran Platonisme disamping ia selaraskan dengan Islam. Dalam pembahasannya mengenai Negara, Al-Farabi menyamakan Negara sama dengan Manusia, yakni bahwa Manusia memiliki organ-organ tubuh yang saling bekerja dengan baik. Misalnya tangan dengan otak manusia, tangan diperintah oleh otak, demikian pula terkadang otak juga diatur oleh hati yang memiliki perasaan yang mempertimbangkan baik atau buruknya. Menurutnya bahwa yang paling terpenting dari Negara adalah pemimpinnya. Oleh karena itu agar Negara menjadi baik dan maju hendaklah yang menjadi pemimpinnya adalah paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya.

DAFTAR PUSTAKA 
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
https://www.academia.edu/9436330/Pemikiran_Filsafat_Al-Farabi
https://salamsemangat.wordpress.com/2012/11/09/al-farabi-makalah-filsafat-islam/
http://bahrululummunir.blogspot.com/2011/08/pemikiran-filsafat-al-farabi.html